- LATAR BELAKANG
Paradigma baru yang disampaikan untuk
mengoreksi paradigma yang sudah adalah paradigma pemberdayaan
masyarakat. Melalui paradigma ini,
masyarakat diberikan hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka
melaksanakan pembangunan. Hadirnya
paradigma ini berinisiatif untuk mengubah kondisi dengan memberikan
kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan yang telah mereka tentukan. Di samping itu,
masyarakat miskin juga diberikan kekuasaan untuk mengelola dana
sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain. Inilah
yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan
masyarakat. Merebaknya paradigma pemberdayaan sangat erat kaitannya
dengan good governance.
Dewasa ini,
good governance telah
didengung-dengungkan sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling
relevan, baik dalam tataran kepemerintahan secara luas maupun dalam
menjalankan fungsi pembangunan. Pengertian yang berkembang tentang
good governance sebagaimana
disampaikan oleh Bank Dunia dalam Mardiasmo
adalah suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi.investasi,
dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun
administrative, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political
framework bagi tumbuhnya aktivitas
usaha. Dari pengertian ini dapat diambil gagasan pokok dari good
governance adalah
upaya untuk menjaga dan meningkatkan citra baik pemerintah khususnya
dalam lingkup pengendalian sistem pembangunan.
Berbeda dengan pemikiran UNDP yang lebih
menekankan adanya keberpihakan pada masyarakat sipil dalam
penyelenggaraan Negara. Pada tataran ini maka fokus UNDP di dalam
memandang good governance tersebut
adalah penekanan adanya sharing
kekuasaan dan daya kemampuan dalam
penyelenggaraan Negara. Secara eksplisit maka UNDP menyatakan istilah
governance menunjukkan
suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya,
institusi dan sumber-sumber politiknya tidak hanya sekedar
dipergunakan dalam pembangunan, tetapi juga untuk kesejahteraan
rakyatnya.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat
dipahami bahwa langkah yang harus ditempuh adalah pembentukan
keseimbangan peran dan fungsi dalam sistem kepemerintahan dan
pembangunan dengan mendudukkan masyarakat pada porsi yang penting.
Senada dengan pemyataan di atas Thoha dalam Sulistiyani (2003:21)
yang dimaksud good
governance adalah tata pemerintahan
yang baik merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses
kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya
saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintahan
(government), rakyat
(citizen) atau
civil society dan
usahawan (business) yang
berada di sektor swasta. Ketiga
komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat.
Hubungan sinergis antara
masyarakat, pemerintah dan swasta menjadi bagian penting dalam good
governance tersebut.
Dalam konteks good governance pemerintah diposisikan sebagai
fasilitator atau katalisator, sedangkan tugas untuk pembangunan
menjadi tanggung jawab seluruh komponen Negara termasuk dunia usaha
dan masyarakat. Bentuk ideal relasi yang ingin diwujudkan adalah
"kemitraan" antara pemerintah, masyarakat, swasta,
organisasi massa, organisasi politik, organisasi profesi dan LSM.
Dengan demikian konsep
governance merujuk pada tiga pilar utama, yaitu public
governance, corporate governance dan
civil society.
- PARADIGMA PEMBERDAYAAN
Dalam konteks good governance,
ada tiga pilar yang harus menopang
jalannya proses pembangunan, yaitu masyarakat sipil, pemerintah dan
swasta. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa SDM
atau masyarakat menjadi pilar
utama yang harus diberdayakan. Akan tetapi,
usaha meningkatkan kapabilitas dan kapasitas SDM bukan merupakan
pekerjaan yang
sedemana. Dewasa ini kebijakan dan program yang dilakukan masih
terbentur berbagai kendala, khususnya permasalahan kemiskinan
perkotaan maupun pedesaan. Dengan demikian,
aplikasi konsep pembangunan SDM tersebut tidak teriepas dari adanya
kemiskinan penduduk di perkotaan dan di pedesaan itu sendiri.
Pemberdayaan menurut Sumodiningrat
menjadi sebuah kredo baru dalam
pembangunan, dan bahkan ke segenap sektor kehidupan. Diadopsinya
pendekatan pemberdayaan oleh pemerintah menurut Sumodiningrat
karena tiga alasan,
yaitu:
- Pemerintah sangat merosot pendapatannya sehingga tidak lagi bisa melakoni sebagai lokomotif pembangunan itu sendiri, seperti yang dilakukan antara tahun 1970-1980-an. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya diharapkan untuk "membiayai" pembangunan. Yang bisa dilakukan adalah menstimulasi masyarakat agar bisa "membiayai'' pembangunan itu sendiri. Penyebabnya mudah ditebak: kemerosotan pendapatan pemerintah, baik dari minyak, pajak, laba BUMN, bahkan pinjaman luar negeri.
- Pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya berpola dari pemikiran pemerintah atas pembangunan itu sendiri. Alhasil, pembangunan bermakna pemaksaan kehendak pemerintah kepada rakyat. Akibatnya pembangunan menjadi bias dari tujuan awalnya. Bahkan di saat lalu muncul ledekan di mana ada pembangunan di situ pasti ada penggusuran. Dimana ada pembangunan di situ paling cepat muncul jurang yang dalam antara kaya dan miskin. Hari ini masyarakat "alergi" pola tersebut. Pemerintah dan rakyat karenanya sepakat agar pembangunan diadakan atas dasar kesepakatan mereka berdua (sebagai institusi), dan ini berarti memberdayakan masyarakat.Dalam bahasa teknis disebut juga pembangunan yang berakardari kehendak rakyat.
- Kemandirian menjadi trend global. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu memenangkan persaingan. Bangsa yang mandiri terbentuk oleh masyarakat mandiri. Oleh karenanya, kredo pembangunan adalah memandirikan masyarakat.
Bertolak dari pendapat
tersebut di atas, tampaknya pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan pilihan yang harus
diambil. Jika tidak menempuh cara ini maka pembangunan akan semakin
jauh dari visi dan misi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Dalam
pembangunan perekonomian rakyat untuk memberdayakan rakyat hendaklah
disertai tranformasi secara seimbang, baik itu tranformasi ekonomi,
sosial, budaya maupun politik. Dengan demikian akan terjadi
keseimbangan dalam masyarakat antarkekuatan ekonomi, sosial-budaya,
dan politik. Pemikiran demikian diperkuat oleh sistem perekonomian
kerakyatan. Menurut Arief
perekonomian
kerakyatan meliputi program-program: melaksanakan etika produksi
baru yang ditandai dengan dominasi barang-barang kebutuhan pokok
rakyat dalam skala produksi nasional; melaksanakan demokrasi ekonomi,
yaitu sistem kapitalisme rakyat berdasarkan koperasi dengan peranan
negara di bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak; strategi
industrialisasi.dengan menekankan idustri barang konsumsi rakyat
banyak (wage
goods industries) pada
tingkat distrik; dan pembangunan koperasi, dengan mengedepankan
koperasi sebagai unit usaha ekonomi yang menjadi tulang punggung
dalam sistem ekonomi sektor swasta di Indonesia seperti yang sudah
dilakukan di negara Skandinavia. Koperasi tidak hanya bergerak pada
skala kecil dan menengah dalam jangka panjang diharapkan bergerak
dalam skala besar.
B.
PENGERTIAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Bagi masyarakat menerima peran dan posisi yang
demikian ideal di bidang kepemerintahan dan pembangunan bukanlah
pekerjaan sederhana. Posisi sebagai mitra yang berimbang hanya dapat
terwujud dengan melalui proses pembenahan di segala segi, termasuk
konsekuensi untuk memberdayakan masyarakat sipil. Oleh karena itu
langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pemberdayaan yang tepat
kepada masyarakat dan meningkatkan kapasitas organisasi pemerintah
dan lembaga-lembaga yang menjadi pendukung atas penyelenggaraan
pembangunan.Sebelumnya perlu ditelusuri terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat.
Secara etimologis pemberdayaan berasal pada
kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau
kemampuan.Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat
dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk
memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian
daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak
yang kurang atau belum berdaya.
Pengertian "proses"
menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang
dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan
upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju
keberdayaan.Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang
dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang
lemah, baik knowledge,
attitude, maupun
practice
(KAP)
menuju pada penguasaan pengetahuan.sikap-perilaku sadardan
kecakapan-keterampilan yang baik.
Makna "memperoleh"
daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka
mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga
memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan
bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari,
mengusahakan, melakukan, menciptakan situasi atau meminta kepada
pihak lain untuk memberikan daya/kekuatan/kemampuan. Iklim seperti
ini hanya akan tercipta jika masyarakat tersebut menyadari
ketidakmampuan/ ketidakberdayaan/tidak adanya kekuatan, dan sekaligus
disertai dengan kesadaran akan periunya memperoleh daya/
kemampuan/ kekuatan.
Makna kata "pemberian"
menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif
untuk mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain
yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau
agen-agen pembangunan lain. Senada
dengan pengertian ini Prijono & Pranarka
menyatakan
bahwa; pemberdayaan mengandung dua arti. Pengertian
yang pertama adalah to give power or
authority, pengertian kedua to
give ability to or enable. Pemaknaan
pengertian pertama meliputi memberikan kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang/belum
berdaya. Di sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah memberikan
kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain
untuk melakukan sesuatu.
Berbeda dengan pendapat Pranarka, Sumodiningrat
menyampaikan: Pemberdayaan
sebenamya merupakan istilah yang khas Indonesia daripada Barat. Di
barat istilah tersebut diterjemahkan sebagai empowerment,
dan
istilah itu benar tetapi tidak tepat. Pemberdayaan yang kita maksud
adalah member! "daya" bukanlah "kekuasaan".
Empowerment
dalam
khasanah barat lebih bernuansa "pemberian kekuasaan"
daripada "pemberdayaan" itu sendiri. Barangkali istilah
yang paling tepat adalah "energize" atau katakan "memberi
energi".
Pemberdayaan adalah memberi enerji agaryang bersangkutan mampu untuk
bergerak secara mandiri.
Bertolak pada kedua pendapat
di atas dapat dipahami bahwa untuk konteks barat apa yang disebut
dengan empowerment
lebih
merupakan pemberian kekuasaan daripada pemberian daya. Pengertian
tersebut sangat wajar terbentuk, mengingat lahimya konsep
pemberdayaan di barat merupakan suatu reaksi atas pergulatan
kekuasaan. Sedangkan dalam konteks Indonesia apa yang disebut dengan
pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk memberikan daya, atau
meningkatkan daya.
Mengingat perbedaan latar
belakang
sosial, budaya, politik, dan lingkungan, maka dalam mengadobsi teori
tidak dapat dilakukan secara mutlak. Seperti halnya dalam mengadobsi
teori pemberdayaan. Kesadaran tentang perbedaan konteks memberikan
sinyal bahwa dalam adopsi
teori hendaknya tidak sekedar mentransformasikan dari suatu konteks
ke dalam konteks lain entah itu negara, budaya, politik, maupun
lingkungan. Dalam hal ini periu dilakukan adaptasi, yaitu suatu
proses transformasi teori dari suatu konteks ke dalam konteks lain
secara selektif, yaitu mempertimbangkan perbedaan latar belakang.
Dengan demikian proses transformasi disertai dengan
penyesuaian-penyesuaian seperiunya. Sebagaimana telah disampaikan
oleh Sumodiningrat di atas, bahwa dalam memahami empowerment
antara
konteks Barat dengan konteks Indonesia hendaknya berbeda. Dengan
demikian dalam aplikasi konsep pemberdayaan ke dalam bentuk
pendekatan teknis tidak mengalami hambatan sosial budaya, politik dan
lingkungan. Oleh karenanya pemberdayaan yang dilakukan menjadi sesuai
dengan tuntutan masyarakat.
Berkenaan dengan pemaknaan
konsep pemberdayaan masyarakat, Winam
P.
mengungkapkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal,
yaitu pengembangan (enabling),
memperkuat
potensi atau daya (empowering),
terciptanya
kemandirian. Bertolak dari pendapat ini, berarti pemberdayaan tidak
saja terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, akan
tetapi pada masyarakat yang memiliki daya yang masih terbatas, dapat
dikembangkan hingga mencapai kemandirian.
Pada hakikatnya pemberdayaan
merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling).
Logika ini
didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali
tanpa memiliki daya. Setiap masyarakat past' memiliki daya, akan
tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari, atau daya tersebut masih
belum dapat diketahui secara eksplisit. Oleh karena itu, daya harus
digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini yang berkembang,
maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Di samping itu,
pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap
ketergantungan (charity),
pemberdayaan
sebaliknya harus mengantarkan pada proses kemandirian.
Akar pemahaman yang diperoleh dalam diskursus
ini adalah:
- Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu (pembangunan) secara mandiri.
- Sedangkan pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat mampu mandiri.
C.
TUJUAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Tujuan yang ingin dicapai
dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Lebih
lanjut periu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatii
masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat adalah
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai
oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan
mempergunakan daya
kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif,
psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki
oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Dengan demikian untuk
menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia
yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif,
dan sumber daya lainnya yang bersifat
fisik-material.
Pemberdayaan masyarakat hendaklah mengarah pada
pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif
pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikiryang dilandasi oleh
pengetahuan dan wawasan seorang atau masyarakat dalam rangka mencari
solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan
suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk yang diarahkan pada
perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan
pemberdayaan. Kondisi afektif adalah merupakan sense yang dimiliki
oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai
keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik
merupakan kecakapan-keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai
upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas
pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek
tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat
memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang
dicita-citakan.Karena dengan demikian dalam masyarakat akan terjadi
kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang
memadai, diperkuat oleh rasa memeriukan pembangunan dan perilaku
sadar akan kebutuhannya tersebut.
Untuk mencapai
kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses
belajar maka masyarakat secara bertahap akan memperoleh kemampuan
tersebut masyarakat harus menjalani proses belajar. Dengan proses
belajar tersebut akan diperoleh kemampuan/daya dari waktu ke waktu.
Dengan demikian akan terakumulasi kemampuan yang memadai. Untuk
mengantarkan
kemandirian mereka.Apa yang diharapkan dari pemberdayaan yang
merupakan suatu visualisasi dari pembangunan sosial ini diharapkan
dapat mewujudkan komunitas yang baik, masyarakat yang ideal.
Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Suprijatna
dalam
The
Dehu-manization of Man, yang
mengusulkan konsep The
Good Community and Competency yang
meliputi
sembilan
konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat.
The Good Community and
Competency adalah:
- Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi, adanya kelompokjuga kelompok primer.
- Komunitas memiliki otonomi yaitu kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab.
- Memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri.
- Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan nil, bebas memiliki dan menyatakan kehendaknya.
- Kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama.
- Komunitas memberi makna kepada anggota.
- Adanya heterogenitas dan beda pendapat.
- Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan.
- Adanya konflik dan managing conflict.
Pada awalnya,
upaya memberdayakan masyarakat pasti dihadapkan pada suatu kondisi
masyarakat atau bagian dari masyarakat yang masih dalam posisi dan
kondisi yang lemah. Mungkin terjadi masyarakat secara keseluruhan
yang berada pada wilayah tertentu sama sekali belum berdaya. Dengan
demikian orientasi pemberdayaan memang secara tegas menunjuk suatu
target group masyarakat
itu sendiri. Di sisi lain sangat mungkin terjadi bahwa sasaran yang
periu diberdayakan hanyalah merupakan bagian dari suatu masyarakat
saja, yaitu khususnya pihak yang belum memiliki daya. Dapat
dicontohkan di sini misalnya masyarakat miskin kota yang berada pada
suatu kawasan, yang sebenamya warga masyarakat bersifat heterogen
dilihat dari aspek pendapatan. Ada
anggota masyarakat yang kaya raya, berkecukupan, pendapatan rendah,
berada di garis kemiskinan dan di bawah garis kemiskinan. Dilihat
dari heterogenitas tersebut, maka ada sebagian masyarakat yang sudah
tidak perlu diberdayakan, namun di sisi lain masih ada sekelompok
miskin kota yang pertu diberdayakan. Inilah yang seianjutnya disebut
dengan komunitas miskin. Apa yang ingin dicapai untuk meningkatkan
kondisi komunitas tersebut melalui 9 langkah sebagaknana telah
dikemukakan di atas. Sedangkan untuk metengkapi sebuah komunitas yang
baik perlu ditambahkan kompetensi sebagai berikut:
- Mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas.
- Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.
- Mampu menemukan dan menyepakati cara dan aiat mencapai sasaran yang telah disetujui.
- Mampu bekerjasama rasional dalam bertindak mencapai tujuan.
Kompetensi-kompetensi
tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat
agar mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik
dalam pembangunan sosiat. Di samping itu kompetensi keempat merupakan
kompetensi masyarakat untuk menentukan strategi dalam merealisasikan
solusi yang telah ditetapkan. Itu semua akan dapat
terwujud apabila proses belajar
yang dilakukan efektif. Proses belajar tersebut merupakan suatu
keharusan untuk ditempuh, karena sebagai suatu metodologi
yang tidak dapat dihindari.
Menurut Paul Freire dalam
Keban & Lele
pemberdayaan
masyarakat berinti pada suatu metodologi yang disebut
conscientization,
yaitu merupakan proses belajar untuk melihat kontradiksi sosial,
ekonomi dan politik dalam masyarakat Paradigma ini mendorong
mesyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari
struktur-struktur yang opresif. Bertolak dan pengertian ini maka
sebuah partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas pada pelaksanaan
suatu program saja melainkan menyentuh pada ntei politik.
D.
TAHAP-TAHAP PEMBERDAYAAN
Sampai kapankah
pemberdayaan tersebut harus dilakukan? Menurut Sumodiningrat
pemberdayaan
tidak bersifat selamanya,
melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian
diepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi.
Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu
masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.
Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap
dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus
menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Sebagaimana disampaikan di
muka bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan
berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap
yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:
- Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
- Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan – keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
- Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Tahap pertama atau tahap penyadaran dan
pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku
pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat
memfasilitasi beriangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa
yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan
afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan
penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat
tentang kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat
merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran
masyarakat bertumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka
untuk meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya
semangat tersebut diharapkan dapat mengantarkan masyarakat untuk
sampai pada kesadaran dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian
masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan untuk memperbaiki kondisi.
Pada tahap kedua yaitu proses transformasi
pengetahuan dan kecakapan
– keterampilan dapat
berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahap
pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar
tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki
relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut.
Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan
menguasai kecakapan –
keterampilan dasar yang mereka
butuhkan. Pada tahap
ini masyarakat hanya dapat memberikan peran partisipasi pada tingkat
yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau obyek pembangunan
saja, belum mampu menjadi subyek dalam pembangunan.
Tahap ketiga adalah
merupakan tahap pengayaan atau peningkatan
intelektualitas dan kecakapan – keterampilan yang diperlukan,
supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian
tersebut akan ditandai oteh kemampuan masyarakat di dalam membentuk
inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di
dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga
ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam
konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali
didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah
tinggal menjadi fasilitator saja.
Sejalan dengan pendapat
Sumodiningrat maka masyarakat yang sudah mandiri tidak dapat
dibiarkan begitu saja.
Masyarakat tersebut tetap memerlukan perlindungan, supaya dengan
kemandirian yang dimiliki dapat melakukan dan mengambil tindakan
nyata dalam pembangunan. Di samping itu, kemandirian mereka perlu
dilindungi supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan
selanjutnya dapat membentuk kedewasaan sikap masyarakat.
E.
KEDEWASAAN SIKAP MASYARAKAT
Serangkaian tahapan yang
ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati
pada tabel 2.1. di bawah ini:
Tabel 2.1.
Tahapan Pemberdayaan Knowledge,
Attitudes, Practice dengan
Pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif
-
Tahapan AfektifTahapan KognitifTahapan PsikomotorikTahapan KonatifBelum merasa sadar & peduli
Belum memiliki wawasan pengetahuanBelum memiliki ketrampilan dasarTidak berperilaku membangun
Tumbuh rasa kesadaran & kepedulianMenguasai pengetahuan dasarMenguasai ketrampilan dasarBersedia teriibat dalam pembangunanMemupuk semangat kesadaran & kepedulianMengembangkan pengetahuan dasarMengembangkan ketrampilan dasarBerinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunanMerasa membutuhkan kemandirian
Mendalami pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi
Memperkaya variasi keterampilan
Berposisi secara mandiri untuk membangun din dan lingkungan
Tabel
tersebut memberikan taksonomi secara jelas bagaimana peningkatan
afeksi, kognisi, psikomotorik, dan konatif dalam suatu pembangunan
masyarakat. Masyarakat
akan berproses secara bertahap, dalam waktu yang tidak singkat.
Kadang-kadang dari suatu tahapan perubahan ke tahapan berikutnya
butuh pengorbanan waktu yang lama. Dengan demikian proses
pemberdayaan masyarakat hendaknya memperhatikan tahap demi tahap.
Apabila perubahan dipaksakan justeru akan menimbulkan bumerang bagi
pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri.
Tabel
tersebut di atas menganut pola pikir linear, dalam pengertian pada
setiap aspek pemberdayaan, yang meliputi afeksi, kognisi,
psikomotorik dan konasi akan berbanding lurus satu sama lain. Jika
seseorang/masyarakat berada pada tahap pertama afeksi, maka logikanya
aspek kognitif, psikomotorik dan konasi juga berada pada tahap
pertama. Dan jika seseorang /masyarakat berada pada tahap kedua
afeksinya, maka begitu pula kondisi kognitif, psikomotorik serta
konasinya, dan
seterusnya.
Meskipun begitu,
taksonomi demikian tentu tidak berlaku mutlak, karena seringkali di
dalam menghadapi kasus-kasus di masyarakat, kadang-kadang antar aspek
tidak berjalan seiring.
Pada suatu kondisi kesadaran
afeksi yang tinggi belum disertai realitas perilaku yang sepadan.
Atau pada posisi kognitif yang tinggi temyata tidak disertai oleh
kesadaran afeksi, atau tidak diimbangi oleh penguasaan ketrampilan.
Dengan demikian maka pengetahuan tersebut tidak dapat
diimplementasikan karena instrumen ketrampilan belum dimiliki.
Mengingatternyata kejadian atau fenomena dalam masyarakat tidak
selalu berbanding mengikuti garis lurus, maka treatment
di dalam
pemberdayaan masyarakat juga harus didasarkan pada kasus yang
dijumpai. Dengan demikian sangat mungkin terjadi kombinasi
pendekatan, misalnya pada suatu kasus masyarakat yang punya skill
yang cukup
tetapi pemalas. Kesadaran afeksinya dalam hal ini yang harus dirubah.
Melalui penyuluhan dan motivasi masyarakat diharapkan dapat mengubah
afeksinya pada tingkatan di atasnya. Untuk memudahkan melakukan
treatmentmaka
taksonomi di atas perlu disedemanakan. Dengan deskripsi kondisi aspek
afektif, kognitif, psikomotorik, dan konatif pada tabel di atas dapat
disederhanakan seperti terfihat pada label 2.2.
yang sekaligus
disertai treatment
yang pertu
dilakukan.
Tabel
2.2.
Model Treatment
untuk Meningkatkan
Aspek Afekfif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif
Afeksi
|
Kognitif
|
Psikomotorik
|
Konatif
|
||||
Sangat rendah
|
Penyu-luhan
untuk penya-daran
|
Tidak berpengetahuan
|
Pembela-jaran untuk
membu-ka wawasan
|
Unskill-ed
|
Pelatihan
untuk ketram-pilan dasar
|
Perilaku acuh tak acuh
|
Keteladan-an
perilaku pemerin-tah & agen pembaha-ru
|
Rendah
|
Mobili-sasi
pada prog-ram
|
Pengeta-huan rendah
|
Pembela-jaran
untuk pening-katan
|
Semi-skilled
(sete-ngah teram-pil)
|
Pelatihan lanjutan
|
Bersedia ikut serta
|
Motivasi menjadi obbyek
|
Cukup
|
Motifasi untuk berpe-ran
|
Cukup
|
Pilot project
|
Skilled (teram-pil)
|
Percoba-an/uji coba-uji
coba
|
Inisiatif untuk berperan
|
Pilihan-pilihan peran utama
|
Relatif
|
Support-ing pro-gram
|
Relative tinggi
|
Peluang bagi pemikiran
inovatif.
|
Sangat terampil
|
Peluang berkarya inivatif
|
Berperan mandiri
|
Perilaku fasilitasi
|
Alur pikir yang disajikan pada tabel tersebut
adalah, bahwa treatment yang
diberikan hendaknya sesuai dengan kasus dan masalah yang dihadapi di
lapangan. Ketika masyarakat tersebut berada pada tingkat afeksi yang
rendah maka harus diubah pada tingkat yang lebih tinggi secara
bertahap. Begitu pula ketika mereka memiliki pengetahuan/wawasan
rendah maka secara bertahap diubah pada tingkat yang lebih tinggi.
Jika masyarakat berada pada kondisi psikomotorik dan konatif yang
rendah juga secara bertahap dilakukan perubahan. Di
dalam melakukan perubahan hendaknya memperhatikan dan memilih
pendekatan yang tepat, dan dengan memberikan skala prioritas. Sebagai
contoh ketika masyarakat berada pada tingkat afeksi yang rendah dan
kognitif rendah serta psikomotorik rendah, maka mana dulu yang akan
dilakukan treatment?
Tentulah
kesadaran afeksi yang menjadi prioritas, dan bukan pembelajaran
pengetahuan serta pelatihan ketrampilan.
Akan terjadi pemborosan
dan
kerugian karena salah sasaran dan metode pendekatan, ketika
masyarakat
diberi ketrampilan dan pengetahuan tanpa tertebih dahulu disadarkan
pada aspek penting pengetahuan dan ketrampilan
tersebut, bagi kemajuan masyarakat.
Begitu seterusnya, untuk menetapkan pembelajaran hendaknya
memperhatikan kasus yang dijumpai.
Sikap merupakan salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Sikap merupakan suatu keteraturan antara perasaan, daya nalar atau
kemampuan berpikir dan predisposisi seorang anggota masyarakat untuk
bertjngkah laku atau berb'ndak terhadap orang lain atau memperlakukan
komponen lingkungan, seperti sistem sosial budaya, fasilitas umum,
kelompok masyarakat sumber daya alam,
dll. Dan pengertian tersebut maka yang dimaksud sikap adalah
merupakan interaksi dan integrasi antara komponen kognisi, afeksi dan
konasi. Komponen kognisi berkaitan dengan daya nalar/pikiran,
gagasan/ide dan keyakinan. Sedangkan komponen afeksi berkaitan dengan
perasaan dan komponen konasi berkenaan dengan kecenderungan seseorang
anggota masyarakat untuk bertingkah laku yang sesuai dengan sikap.
Kedewasaan sikap masyarakat
dapat mempengaruhi tjngkah laku. Bagi masyarakat yang telah mandiri
perlu disertai dengan kedewasaan sikap. Kedewasaan atau kematangan
(maturity)
sangat
diperlukan
supaya di dalam bertindak dilandasi oleh unsur kebijakan. Adapun
komponen utama dan kedewasaan sikap menurut Suprijatna
kemampuan
(job
matuiity)
dan
kemauan untuk bertanggung jawab
(psycological
maturity).
Job maturity adalah
berkembangnya pengetahuan dan keterampilan seseorang yang tinggi
sehingga dalam pekerjaan, relatif tidak perlu lagi petunjuk yang
mendetail dan orang lain. Psychological
maturity
berhubungan
dengan kemauan untuk bertanggung jawab dalam berbuat sesuatu.
Apabila kedewasaan
sikap tersebut telah terbentuk dan tertanamkan pada masyarakat maka
tidak perlu lagi dipaksa atau didorong untuk melakukan sesuatu.
Melainkan dalam diri sendiri telah ada keyakinan bahwa penting atau
harus melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang optimal.
Selanjutnya menurut Supriyatna
untuk
menuju pada kedewasaan sikap ada perubahan tingkah laku sebagai
berikut:
Tabel 2.3.
Perubahan Tingkah Laku Mencerminkan
Kematangan Sikap
-
Kurang/Tidak Matang/Kurang DewasaMatang/DewasaPasifAktifTergantungTidak tergantungSedikit altematif tindakanBanyak alternatifMinat yang dangkalMinat yang dalamBerpikirjangkapendekBerpikir jangka panjang (baik yang dahulu maupun yang akan datang)Menempatkan diri sebagai bawahanMenempatkan diri sama atau menjadi atasanKurang mempunyai kehati-hatian atas dirinya sendiriHati-hati dan mengendaican diri
Sumber: Suprijatna, 2000:93.
Selanjutnya Suprijatna juga
mendeskripsikan sebuah kematangan
pekerjaan dan kematangan psikologi seperti terlihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 2.4.
Kematangan dalam Bidang Pekerjaan
-
TinggiCukup/ModeratRunoan87654321Pengalaman Keija
Memiliki pengalaman yang erat hubungannya dengan pekerjaan
Tidak memiliki pengalaman yang berarti
Pengetahuan tentang pekerjaanMemiliki pengetahuan yang perlu
Tidak memiliki
Pengetahuan tentang tuntutan yang diperlukan untuk pekerjaan
Secara mendalam mengerti apa yang harus dikerjakan
Sedikit mengerti yang perlu dikerjakan
Sumber. Suprijatna, 2000:94.
Tabel 2.4.
tersebut di atas telah ditunjukkan kondisi pada posisi mana kemampuan
seseorang berada dalam penguasaan bkteng pekerjaan. Dalam masyarakat
pun juga berlaku apresiasi kondisi demikian ini. Ketika masyarakat
rata-rata berada pada kondisi atau skor 7 dan 8 maka dapat dipastikan
bahwa masyarakat tersebut memiliki
kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau pembangunan yang diharapkan
dapat mencapai hasil yang baik. Sedangkan jika masyarakat tersebut
berada pada skor 1 dan 2 maka sangatlah rendah kemampuannya, sehingga
terialu sulit untuk diharapkan mencapai hasil yang baik. Pada posisi
demikian ini masyarakat harus dipaksa dalam melakukan pembangunan.
Pada posisi tengah, masyarakat memiliki kemampuan yang moderat,
berarti masih mungkin melakukan pembangunan jika dilakukan motivasi
yang baik. Dengan motivasi yang baik tersebut masih dapat diharapkan
masyarakatmampu mewujudkan hasil pembangunan yang relatif baik.
Demikian tabel tersebut dapat diinterpretasikan bahwa ada tingkatan
kemampuan, pengalaman dan pengetahuan masyarakat. Dan ketika
masyarakatberada pada posisi tertentu, maka akan memperoleh hasil
tertentu. Itu merupakan konsekuensi logis dari tingkatan keberdayaan
masyarakat. Dan untuk mencapai suatu kondisi kemampuan yang tinggi
memerlukan suatu proses belajar
secara bertahap.
Selanjutnya kemampuan yang tinggi tersebut
perlu disertai oleh kematangan psikologis yang tinggi pula. Dengan
kondisi seperti ini masyarakat yang telah berkemampuan tinggi
tersebut dapat mengambil langkah-langkah pembangunan secara
bertanggung jawab. Tingkatan kematangan psikologis tersebut tampak
pada tabel 2.5.
berikut ini.
Tabel 2.5.
Kematangan Psikologi
-
Kemauan untuk memikul tanggung jawabTinggiCukup/moderatRendah87654321Sangat ingin
AcuhKeinginan untuk berhasil/berprestasiSangat tinggi
RendahKomitmen untuk pekerjaanSangat berdedikasi
Acuh
Sumber: Suprijatna, 2000:94.
Tabel tersebut memperlihatkan bagaimana kondisi
kematangan psikologis seseorang.dan konsekuensi daripadanya. Apabila
seseorang berada pada tingkat kematangan yang tinggi, maka akan
memiliki inisiatif yang tinggi, rasa tanggung jawab tinggi dan
komitmen tinggi. Sebaliknya jika seseorang belum atau tidak memiliki
kedewasaan yang tinggi, maka tanggung jawab rendah, komitmen rendah
dan tidak memiliki dorongan inisiatif. Begitu pula halnya dengan
kondisi masyarakat.
Berdasar pendapat tersebut di atas semakin
jelas bahwa untuk menuju kemandirian masyarakat memang diperlukan
proses pematangan emosi. Dengan
demikian secara bertahap dapat terbentuk sikap yang matang, dan
terbentuk perilaku yang bertanggung jawab. Sebenarya proses
pemberdayaan masyarakat diharapkan sampai pada suatu kondisi
masyarakat yang bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu dalam
rangka meraih kondisi atau hasil yang optimal.
E.
SASARAN PEMBERDAYAAN
Perlu dipikirkan siapa yang
sesungguhnya menjadi sasaran pemberdayaan. Schumacher memiliki
pandangan pemberdayaan sebagai suatu bagian dari masyarakat miskin
dengan tidak harus menghilangkan ketimpangan struktural lebih dahulu.
Masyarakat miskin sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun,
dengan demikian memberikan "kail jauh lebih tepat daripada
memberikan ikan", Di samping itu,
NGO merupakan agen yang mendapat posisi penting, karena dipandang
lebih bersifat entrepreneur,
berpengalaman
dan inovatif dibanding pemerintah. Pemaknaan pemberdayaan selanjutnya
seiring dengan konsep good
governance. Konsep
ini mengetengahkan ada tiga pilar yang harus dipertemukan dalam
proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah
pemerintah, swasta dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan
kemitraan yang selaras.
G.
PENDEKATAN PEMBERDAYAAN
Akibat dari pemahaman
hakikat pemberdayaan yang berbeda-beda, maka lahirlah dua sudut
pendang yang bersifat kontradiktif. Kedua sudut pandang tersebut
memberikan implikasi atas pendekatan yang berbeda pula di dalam
melakukan langkah pemberdayaan masyarakat. Pendekatan yang pertama
memahami
pemberdayaan sebagai suatu sudut pandang konfliktual. Munculnya cara
pandang tersebut didasarkan pada perspektif konflik antara pihak yang
memiliki daya/kekuatan di satu sisi, yang berhadapan dengan pihak
yang lemah di sisi lainnya. Pendapat ini diwamai oleh pemahaman bahwa
kedua pihak yang
berhadapan tersebut sebagai suatu fenomena kompetisi untuk
mendapatkan daya, yaitu pihak yang kuat berhadapan dengan
kelompoklemah. Penuturan yang lebih simpel dapat disampaikan, bahwa
proses pemberian daya kepada kelompok lemah berakibat pada
berkurangnya daya pada kelompok lain. Sudut pandang ini lebih popular
dengan istilah zero-sum.
Jika diinterpretasikan
pendekatan zero-sum
tersebut,
tampaknya lebih merupakan cerminan pemberdayaan model barat
sebagaimana disitir dari pendapat Sumodiningrat di muka. Pendekatan
ini lebih sesuai untuk menganalisis pemberdayaan dalam pengertian
pengalihan kekuasaan. Dalam konteks pengalihan kekuasaan dari pihak
yang sebelumnya memegang kekuasaan, kepada pihak yang tidak memiliki
kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan yang dimiliki oleh pihak
pertama, karena sebagian telah beralih pada pihak kedua. Tetapi
pendekatan zero-sum
menjadi
kurang relevan jika dipergunakan untuk menganalisis sebuah proses
pemberdayaan, dalam konteks pemberian kemampuan dari pihak yang
memiliki kemampuan kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan. Tidak
berarti kemampuan seseorang atau suatu lembaga akan berkurang, ketika
memberikan atau lebih tepatnya mentransfer kemampuan mereka kepada
pihak yang belum memiliki kemampuan.
Implikasi dari pendekatan
zero-sum adalah orang/lembaga menjadi enggan untuk melakukan
pemberdayaan terhadap orang atau lembaga lain. Logika ini dibenarkan
mengingat jika proses pemberdayaan "yang dimaksud"
pengalihan kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan mereka. Jika
demikian maka penguasa tidak akan melakukan pemberdayaan kepada
masyarakat.
Pandangan kedua
bertentangan
dengan pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama proses
pemberdayaan mengakibatkan berkurangnya daya pada pihak yang
berkuasa, maka sudut pandang kedua berpegang pada prinsip sebaliknya.
Makanala terjadi proses pemberdayaan dari pihak yang berkuasa/
berdaya kepada pihak yang lemah justeru akan memperkuat daya pihak
pertama. Dengan demikian kekhawatiran yang terjadi pada sudut pandang
pertama tidak berlaku pada sudut pandang kedua. Pemberi daya akan
memperoleh manfaat positif berupa peningkatan daya apabila melakukan
proses pemberdayaan terhadap pihak yang lemah. Di samping itu
keyakinan yang dimiliki oleh sudut pandang ini adalah adanya
penekanan aspek generatif. Sudut pandang demikian ini popular dengan
namapos/frVe-sum.
Dalam perjalanan historis
pembangunan bangsa Indonesia tampaknya sudut pandang pertama cukup
dominan. Jika diamati dari hasil-hasil
pembangunan yang sesungguhnya memiliki tujuan pemberdayaan masyarakat
miskin/lemah telah memunculkan fakta dikotomis. Fenomena
ketergantungan daerah-pusat, ketimpangan dan jurang pemisah antara
kaya dan miskin, kesenjangan staiktural, dominasi peran publik dan
sosial antara laki-laki perempuan, merupakan pola-pola sub-ordinasi
yang memberikan bukti bahwa adanya pandangan bahwa pemberdayaan dalam
konteks pembangunan nasional setama ini berkiblat pada zero-sum.
Itulah
mengapa selama ini juga terjadi tank ulur antara pusat dan daerah,
penguasa dan pihak yang dikuasai. Seharusnya sudut pandang
positive-sum
yang
dikembangkan. Sudut pandang ini dapat memfasilitasi terjadinya proses
pemberdayaan yang hakiki, dengan adanya iktikad baik untuk mengubah
keadaan, yang tidak berdaya menjadi berdaya. Iktikad baik tersebut
dilakukan tanpa ada rasa setengah hati, karena ketakutan apabila
sebagian kekuasaannya berkurang. Pengalihan daya tidak melalui
situasi konfliktual, akan tetapi bermodal suatu dorongan kesadaran
akan kewajiban akan pentingnya aspek generatif yang perlu
dilangsungkan. Kekuatan dan keberdayaan yang tumbuh dalam masyarakat
akan memberikan kontribusi yang baik kepada pemerintah dan negara,
bukan sebaliknya akan menumbangkan pemerintah dan negara. Keberdayaan
masyarakat akan menjadi penyeimbang bagi pemerintah dan sector
swasta yang
menjilma dalam bentuk kemitraan yang lebih bermakna.
- KESIMPULAN
Paradigma baru yang disampaikan untuk
mengooreksi
paradigma yang sudah ada adalah paradigma pemberdayaan masyarakat.
Melalui paradigma ini,
masyarakat diberikan hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka
melaksanakan pembangunan. Hadirnya
paradigma ini berinisiatif untuk mengubah kondisi dengan memberikan
kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan yang telah mereka tentukan. Tujuan yang ingin
dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan
masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan
apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk menjadi mandiri perlu
dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh dengan
kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif, dan sumber daya
lainnya yang bersifat
fisik-material.
Pemberdayaan
tidak bersifat selamanya,
melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian
diepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi.
Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu
masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.
Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap
dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus
menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Dalam
rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap.
Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:
- Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
- Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan – keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
- Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Untuk menuju kemandirian masyarakat memang
diperlukan proses pematangan emosi. Dengan demikian secara bertahap
dapat terbentuk sikap yang matang, dan terbentuk perilaku yang
bertanggung jawab. Sebenarya proses pemberdayaan masyarakat
diharapkan sampai pada suatu kondisi masyarakat yang bertanggung
jawab untuk melakukan sesuatu dalam rangka meraih kondisi atau hasil
yang optimal.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah Kepedulianmu