Paradigma Pemberdayaan



  1. LATAR BELAKANG
Paradigma baru yang disampaikan untuk mengoreksi paradigma yang sudah adalah paradigma pemberdayaan masyarakat. Melalui paradigma ini, masyarakat diberikan hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka melaksanakan pembangunan. Hadirnya paradigma ini berinisiatif untuk mengubah kondisi dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Di samping itu, masyarakat miskin juga diberikan kekuasaan untuk mengelola dana sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain. Inilah yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat. Merebaknya paradigma pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan good governance.
Dewasa ini, good governance telah didengung-dengungkan sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam tataran kepemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan. Pengertian yang berkembang tentang good governance sebagaimana disampaikan oleh Bank Dunia dalam Mardiasmo adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran terhadap kemungkinan salah alokasi.investasi, dan pencegahan korupsi baik yang secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politi­cal framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Dari pengertian ini dapat diambil gagasan pokok dari good governance adalah upaya untuk menjaga dan meningkatkan citra baik pemerintah khususnya dalam lingkup pengendalian sistem pembangunan.
Berbeda dengan pemikiran UNDP yang lebih menekankan adanya keberpihakan pada masyarakat sipil dalam penyelenggaraan Negara. Pada tataran ini maka fokus UNDP di dalam memandang good governance tersebut adalah penekanan adanya sharing kekuasaan dan daya kemampuan dalam penyelenggaraan Negara. Secara eksplisit maka UNDP menyatakan istilah governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan dalam pembangunan, tetapi juga untuk kesejahteraan rakyatnya.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa langkah yang harus ditempuh adalah pembentukan keseimbangan peran dan fungsi dalam sistem kepemerintahan dan pembangunan dengan mendudukkan masyarakat pada porsi yang penting. Senada dengan pemyataan di atas Thoha dalam Sulistiyani (2003:21) yang dimaksud good governance adalah tata pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintahan (government), rakyat (citi­zen) atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat.
Hubungan sinergis antara masyarakat, pemerintah dan swasta menjadi bagian penting dalam good governance tersebut. Dalam konteks good gover­nance pemerintah diposisikan sebagai fasilitator atau katalisator, sedangkan tugas untuk pembangunan menjadi tanggung jawab seluruh komponen Negara termasuk dunia usaha dan masyarakat. Bentuk ideal relasi yang ingin diwujudkan adalah "kemitraan" antara pemerintah, masyarakat, swasta, organisasi massa, organisasi politik, organisasi profesi dan LSM. Dengan demikian konsep gov­ernance merujuk pada tiga pilar utama, yaitu public governance, corporate gov­ernance dan civil society.

  1. PARADIGMA PEMBERDAYAAN
Dalam konteks good governance, ada tiga pilar yang harus menopang jalannya proses pembangunan, yaitu masyarakat sipil, pemerintah dan swasta. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa SDM atau masyarakat menjadi pilar utama yang harus diberdayakan. Akan tetapi, usaha meningkatkan kapabilitas dan kapasitas SDM bukan merupakan pekerjaan yang sedemana. Dewasa ini kebijakan dan program yang dilakukan masih terbentur berbagai kendala, khususnya permasalahan kemiskinan perkotaan maupun pedesaan. Dengan demikian, aplikasi konsep pembangunan SDM tersebut tidak teriepas dari adanya kemiskinan penduduk di perkotaan dan di pedesaan itu sendiri.
Pemberdayaan menurut Sumodiningrat menjadi sebuah kredo baru dalam pembangunan, dan bahkan ke segenap sektor kehidupan. Diadopsinya pendekatan pemberdayaan oleh pemerintah menurut Sumodiningrat karena tiga alasan, yaitu:
  1. Pemerintah sangat merosot pendapatannya sehingga tidak lagi bisa melakoni sebagai lokomotif pembangunan itu sendiri, seperti yang dilakukan antara tahun 1970-1980-an. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya diharapkan untuk "membiayai" pembangunan. Yang bisa dilakukan adalah menstimulasi masyarakat agar bisa "membiayai'' pembangunan itu sendiri. Penyebabnya mudah ditebak: kemerosotan pendapatan pemerintah, baik dari minyak, pajak, laba BUMN, bahkan pinjaman luar negeri.
  2. Pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya berpola dari pemikiran pemerintah atas pembangunan itu sendiri. Alhasil, pembangunan bermakna pemaksaan kehendak pemerintah kepada rakyat. Akibatnya pembangunan menjadi bias dari tujuan awalnya. Bahkan di saat lalu muncul ledekan di mana ada pembangunan di situ pasti ada penggusuran. Dimana ada pembangunan di situ paling cepat muncul jurang yang dalam antara kaya dan miskin. Hari ini masyarakat "alergi" pola tersebut. Pemerintah dan rakyat karenanya sepakat agar pembangunan diadakan atas dasar kesepakatan mereka berdua (sebagai institusi), dan ini berarti memberdayakan masyarakat.Dalam bahasa teknis disebut juga pembangunan yang berakardari kehendak rakyat.
  3. Kemandirian menjadi trend global. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu memenangkan persaingan. Bangsa yang mandiri terbentuk oleh masyarakat mandiri. Oleh karenanya, kredo pembangunan adalah memandirikan masyarakat.
Bertolak dari pendapat tersebut di atas, tampaknya pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan pilihan yang harus diambil. Jika tidak menempuh cara ini maka pembangunan akan semakin jauh dari visi dan misi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Dalam pembangunan perekonomian rakyat untuk memberdayakan rakyat hendaklah disertai tranformasi secara seimbang, baik itu tranformasi ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Dengan demikian akan terjadi keseimbangan dalam masyarakat antarkekuatan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Pemikiran demikian diperkuat oleh sistem perekonomian kerakyatan. Menurut Arief perekonomian kerakyatan meliputi program-pro­gram: melaksanakan etika produksi baru yang ditandai dengan dominasi barang-barang kebutuhan pokok rakyat dalam skala produksi nasional; melaksanakan demokrasi ekonomi, yaitu sistem kapitalisme rakyat berdasarkan koperasi dengan peranan negara di bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak; strategi industrialisasi.dengan menekankan idustri barang konsumsi rakyat banyak (wage goods industries) pada tingkat distrik; dan pembangunan koperasi, dengan mengedepankan koperasi sebagai unit usaha ekonomi yang menjadi tulang punggung dalam sistem ekonomi sektor swasta di Indonesia seperti yang sudah dilakukan di negara Skandinavia. Koperasi tidak hanya bergerak pada skala kecil dan menengah dalam jangka panjang diharapkan bergerak dalam skala besar.

B. PENGERTIAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Bagi masyarakat menerima peran dan posisi yang demikian ideal di bidang kepemerintahan dan pembangunan bukanlah pekerjaan sederhana. Posisi sebagai mitra yang berimbang hanya dapat terwujud dengan melalui proses pembenahan di segala segi, termasuk konsekuensi untuk memberdayakan masyarakat sipil. Oleh karena itu langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pemberdayaan yang tepat kepada masyarakat dan meningkatkan kapasitas organisasi pemerintah dan lembaga-lembaga yang menjadi pendukung atas penyelenggaraan pembangunan.Sebelumnya perlu ditelusuri terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat.
Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan.Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Pengertian "proses" menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan.Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan.sikap-perilaku sadardan kecakapan-keterampilan yang baik.
Makna "memperoleh" daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan, menciptakan situasi atau meminta kepada pihak lain untuk memberikan daya/kekuatan/kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika masyarakat tersebut menyadari ketidakmampuan/ ketidakberdayaan/tidak adanya kekuatan, dan sekaligus disertai dengan kesadaran akan periunya memperoleh daya/ kemampuan/ kekuatan.
Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lain. Senada dengan pengertian ini Prijono & Pranarka menyatakan bahwa; pemberdayaan mengandung dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority, pengertian kedua to give ability to or enable. Pemaknaan pengertian pertama meliputi memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang kurang/belum berdaya. Di sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu.
Berbeda dengan pendapat Pranarka, Sumodiningrat menyampaikan: Pemberdayaan sebenamya merupakan istilah yang khas Indonesia daripada Barat. Di barat istilah tersebut diterjemahkan sebagai empowerment, dan istilah itu benar tetapi tidak tepat. Pemberdayaan yang kita maksud adalah member! "daya" bukanlah "kekuasaan". Empowerment dalam khasanah barat lebih bernuansa "pemberian kekuasaan" daripada "pemberdayaan" itu sendiri. Barangkali istilah yang paling tepat adalah "energize" atau katakan "memberi energi". Pemberdayaan adalah memberi enerji agaryang bersangkutan mampu untuk bergerak secara mandiri.
Bertolak pada kedua pendapat di atas dapat dipahami bahwa untuk konteks barat apa yang disebut dengan empowerment lebih merupakan pemberian kekuasaan daripada pemberian daya. Pengertian tersebut sangat wajar terbentuk, mengingat lahimya konsep pemberdayaan di barat merupakan suatu reaksi atas pergulatan kekuasaan. Sedangkan dalam konteks Indonesia apa yang disebut dengan pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk memberikan daya, atau meningkatkan daya.
Mengingat perbedaan latar belakang sosial, budaya, politik, dan lingkungan, maka dalam mengadobsi teori tidak dapat dilakukan secara mutlak. Seperti halnya dalam mengadobsi teori pemberdayaan. Kesadaran tentang perbedaan konteks memberikan sinyal bahwa dalam adopsi teori hendaknya tidak sekedar mentransformasikan dari suatu konteks ke dalam konteks lain entah itu negara, budaya, politik, maupun lingkungan. Dalam hal ini periu dilakukan adaptasi, yaitu suatu proses transformasi teori dari suatu konteks ke dalam konteks lain secara selektif, yaitu mempertimbangkan perbedaan latar belakang. Dengan demikian proses transformasi disertai dengan penyesuaian-penyesuaian seperiunya. Sebagaimana telah disampaikan oleh Sumodiningrat di atas, bahwa dalam memahami empowerment antara konteks Barat dengan konteks Indonesia hendaknya berbeda. Dengan demikian dalam aplikasi konsep pemberdayaan ke dalam bentuk pendekatan teknis tidak mengalami hambatan sosial budaya, politik dan lingkungan. Oleh karenanya pemberdayaan yang dilakukan menjadi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Winam P. mengungkapkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empow­ering), terciptanya kemandirian. Bertolak dari pendapat ini, berarti pemberdayaan tidak saja terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan, akan tetapi pada masyarakat yang memiliki daya yang masih terbatas, dapat dikembangkan hingga mencapai kemandirian.
Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa memiliki daya. Setiap masyarakat past' memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari, atau daya tersebut masih belum dapat diketahui secara eksplisit. Oleh karena itu, daya harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini yang berkembang, maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Di samping itu, pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaliknya harus mengantarkan pada proses kemandirian.
Akar pemahaman yang diperoleh dalam diskursus ini adalah:
  1. Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu (pembangunan) secara mandiri.
  2. Sedangkan pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat mampu mandiri.

C. TUJUAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Lebih lanjut periu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatii masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Dengan demikian untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material.
Pemberdayaan masyarakat hendaklah mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikiryang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seorang atau masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk yang diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif adalah merupakan sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan-keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan.Karena dengan demikian dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memeriukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya tersebut.
Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap akan memperoleh kemampuan tersebut masyarakat harus menjalani proses belajar. Dengan proses belajar tersebut akan diperoleh kemampuan/daya dari waktu ke waktu. Dengan demikian akan terakumulasi kemampuan yang memadai. Untuk mengantarkan kemandirian mereka.Apa yang diharapkan dari pemberdayaan yang merupakan suatu visualisasi dari pembangunan sosial ini diharapkan dapat mewujudkan komunitas yang baik, masyarakat yang ideal. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Suprijatna dalam The Dehu-manization of Man, yang mengusulkan konsep The Good Community and Com­petency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency adalah:
  1. Setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi, adanya kelompokjuga kelompok primer.
  2. Komunitas memiliki otonomi yaitu kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara bertanggung jawab.
  3. Memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri.
  4. Distribusi kekuasaan merata sehingga setiap orang berkesempatan nil, bebas memiliki dan menyatakan kehendaknya.
  5. Kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk kepentingan bersama.
  6. Komunitas memberi makna kepada anggota.
  7. Adanya heterogenitas dan beda pendapat.
  8. Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan.
  9. Adanya konflik dan managing conflict.
Pada awalnya, upaya memberdayakan masyarakat pasti dihadapkan pada suatu kondisi masyarakat atau bagian dari masyarakat yang masih dalam posisi dan kondisi yang lemah. Mungkin terjadi masyarakat secara keseluruhan yang berada pada wilayah tertentu sama sekali belum berdaya. Dengan demikian orientasi pemberdayaan memang secara tegas menunjuk suatu target group masyarakat itu sendiri. Di sisi lain sangat mungkin terjadi bahwa sasaran yang periu diberdayakan hanyalah merupakan bagian dari suatu masyarakat saja, yaitu khususnya pihak yang belum memiliki daya. Dapat dicontohkan di sini misalnya masyarakat miskin kota yang berada pada suatu kawasan, yang sebenamya warga masyarakat bersifat heterogen dilihat dari aspek pendapatan. Ada anggota masyarakat yang kaya raya, berkecukupan, pendapatan rendah, berada di garis kemiskinan dan di bawah garis kemiskinan. Dilihat dari heterogenitas tersebut, maka ada sebagian masyarakat yang sudah tidak perlu diberdayakan, namun di sisi lain masih ada sekelompok miskin kota yang pertu diberdayakan. Inilah yang seianjutnya disebut dengan komunitas miskin. Apa yang ingin dicapai untuk meningkatkan kondisi komunitas tersebut melalui 9 langkah sebagaknana telah dikemukakan di atas. Sedangkan untuk metengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi sebagai berikut:
  1. Mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas.
  2. Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas.
  3. Mampu menemukan dan menyepakati cara dan aiat mencapai sasaran yang telah disetujui.
  4. Mampu bekerjasama rasional dalam bertindak mencapai tujuan.
Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosiat. Di samping itu kompetensi keempat merupakan kompetensi masyarakat untuk menentukan strategi dalam merealisasikan solusi yang telah ditetapkan. Itu semua akan dapat terwujud apabila proses belajar yang dilakukan efektif. Proses belajar tersebut merupakan suatu keharusan untuk ditempuh, karena sebagai suatu metodologi yang tidak dapat dihindari.
Menurut Paul Freire dalam Keban & Lele pemberdayaan masyarakat berinti pada suatu metodologi yang disebut conscientization, yaitu merupakan proses belajar untuk melihat kontradiksi sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat Paradigma ini mendorong mesyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang opresif. Bertolak dan pengertian ini maka sebuah partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas pada pelaksanaan suatu program saja melainkan menyentuh pada ntei politik.

D. TAHAP-TAHAP PEMBERDAYAAN
Sampai kapankah pemberdayaan tersebut harus dilakukan? Menurut Sumodiningrat pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian diepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Sebagaimana disampaikan di muka bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:
      1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
      2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
      3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi beriangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat bertumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka untuk meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya semangat tersebut diharapkan dapat mengantarkan masyarakat untuk sampai pada kesadaran dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi.
Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan dan kecakapanketerampilan dapat berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapanketerampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat memberikan peran partisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau obyek pembangunan saja, belum mampu menjadi subyek dalam pembangunan.
Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan – keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oteh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.
Sejalan dengan pendapat Sumodiningrat maka masyarakat yang sudah mandiri tidak dapat dibiarkan begitu saja. Masyarakat tersebut tetap memerlukan perlindungan, supaya dengan kemandirian yang dimiliki dapat melakukan dan mengambil tindakan nyata dalam pembangunan. Di samping itu, kemandirian mereka perlu dilindungi supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan selanjutnya dapat membentuk kedewasaan sikap masyarakat.

E. KEDEWASAAN SIKAP MASYARAKAT
Serangkaian tahapan yang ditempuh melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati pada tabel 2.1. di bawah ini:
Tabel 2.1.
Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, Practice dengan Pendekatan Aspek Afektif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif

Tahapan Afektif
Tahapan Kognitif
Tahapan Psikomotorik
Tahapan Konatif
Belum merasa sadar & peduli

Belum memiliki wawasan pengetahuan
Belum memiliki ketrampilan dasar
Tidak berperilaku membangun

Tumbuh rasa kesadaran & kepedulian
Menguasai pengetahuan dasar
Menguasai ketrampilan dasar
Bersedia teriibat dalam pembangunan
Memupuk semangat kesadaran & kepedulian
Mengembangkan pengetahuan dasar
Mengembangkan ketrampilan dasar
Berinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunan
Merasa membutuhkan kemandirian

Mendalami pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi

Memperkaya variasi keterampilan

Berposisi secara mandiri untuk membangun din dan lingkungan


Tabel tersebut memberikan taksonomi secara jelas bagaimana peningkatan afeksi, kognisi, psikomotorik, dan konatif dalam suatu pembangunan masyarakat. Masyarakat akan berproses secara bertahap, dalam waktu yang tidak singkat. Kadang-kadang dari suatu tahapan perubahan ke tahapan berikutnya butuh pengorbanan waktu yang lama. Dengan demikian proses pemberdayaan masyarakat hendaknya memperhatikan tahap demi tahap. Apabila perubahan dipaksakan justeru akan menimbulkan bumerang bagi pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri.
Tabel tersebut di atas menganut pola pikir linear, dalam pengertian pada setiap aspek pemberdayaan, yang meliputi afeksi, kognisi, psikomotorik dan konasi akan berbanding lurus satu sama lain. Jika seseorang/masyarakat berada pada tahap pertama afeksi, maka logikanya aspek kognitif, psikomotorik dan konasi juga berada pada tahap pertama. Dan jika seseorang /masyarakat berada pada tahap kedua afeksinya, maka begitu pula kondisi kognitif, psikomotorik serta konasinya, dan seterusnya. Meskipun begitu, taksonomi demikian tentu tidak berlaku mutlak, karena seringkali di dalam menghadapi kasus-kasus di masyarakat, kadang-kadang antar aspek tidak berjalan seiring.
Pada suatu kondisi kesadaran afeksi yang tinggi belum disertai realitas perilaku yang sepadan. Atau pada posisi kognitif yang tinggi temyata tidak disertai oleh kesadaran afeksi, atau tidak diimbangi oleh penguasaan ketrampilan. Dengan demikian maka pengetahuan tersebut tidak dapat diimplementasikan karena instrumen ketrampilan belum dimiliki. Mengingatternyata kejadian atau fenomena dalam masyarakat tidak selalu berbanding mengikuti garis lurus, maka treatment di dalam pemberdayaan masyarakat juga harus didasarkan pada kasus yang dijumpai. Dengan demikian sangat mungkin terjadi kombinasi pendekatan, misalnya pada suatu kasus masyarakat yang punya skill yang cukup tetapi pemalas. Kesadaran afeksinya dalam hal ini yang harus dirubah. Melalui penyuluhan dan motivasi masyarakat diharapkan dapat mengubah afeksinya pada tingkatan di atasnya. Untuk memudahkan melakukan treat­mentmaka taksonomi di atas perlu disedemanakan. Dengan deskripsi kondisi aspek afektif, kognitif, psikomotorik, dan konatif pada tabel di atas dapat disederhanakan seperti terfihat pada label 2.2. yang sekaligus disertai treat­ment yang pertu dilakukan.

Tabel 2.2.
Model Treatment untuk Meningkatkan Aspek Afekfif, Kognitif, Psikomotorik dan Konatif


Afeksi
Kognitif
Psikomotorik
Konatif
Sangat rendah
Penyu-luhan untuk penya-daran
Tidak berpengetahuan
Pembela-jaran untuk membu-ka wawasan
Unskill-ed
Pelatihan untuk ketram-pilan dasar
Perilaku acuh tak acuh
Keteladan-an perilaku pemerin-tah & agen pembaha-ru
Rendah
Mobili-sasi pada prog-ram
Pengeta-huan rendah
Pembela-jaran untuk pening-katan
Semi-skilled (sete-ngah teram-pil)
Pelatihan lanjutan
Bersedia ikut serta
Motivasi menjadi obbyek
Cukup
Motifasi untuk berpe-ran
Cukup
Pilot project
Skilled (teram-pil)
Percoba-an/uji coba-uji coba
Inisiatif untuk berperan
Pilihan-pilihan peran utama
Relatif
Support-ing pro-gram
Relative tinggi
Peluang bagi pemikiran inovatif.
Sangat terampil
Peluang berkarya inivatif
Berperan mandiri
Perilaku fasilitasi

Alur pikir yang disajikan pada tabel tersebut adalah, bahwa treatment yang diberikan hendaknya sesuai dengan kasus dan masalah yang dihadapi di lapangan. Ketika masyarakat tersebut berada pada tingkat afeksi yang rendah maka harus diubah pada tingkat yang lebih tinggi secara bertahap. Begitu pula ketika mereka memiliki pengetahuan/wawasan rendah maka secara bertahap diubah pada tingkat yang lebih tinggi. Jika masyarakat berada pada kondisi psikomotorik dan konatif yang rendah juga secara bertahap dilakukan perubahan. Di dalam melakukan perubahan hendaknya memperhatikan dan memilih pendekatan yang tepat, dan dengan memberikan skala prioritas. Sebagai contoh ketika masyarakat berada pada tingkat afeksi yang rendah dan kognitif rendah serta psikomotorik rendah, maka mana dulu yang akan dilakukan treatment? Tentulah kesadaran afeksi yang menjadi prioritas, dan bukan pembelajaran pengetahuan serta pelatihan ketrampilan. Akan terjadi pemborosan dan kerugian karena salah sasaran dan metode pendekatan, ketika masyarakat diberi ketrampilan dan pengetahuan tanpa tertebih dahulu disadarkan pada aspek penting pengetahuan dan ketrampilan tersebut, bagi kemajuan masyarakat. Begitu seterusnya, untuk menetapkan pembelajaran hendaknya memperhatikan kasus yang dijumpai.
Sikap merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Sikap merupakan suatu keteraturan antara perasaan, daya nalar atau kemampuan berpikir dan predisposisi seorang anggota masyarakat untuk bertjngkah laku atau berb'ndak terhadap orang lain atau memperlakukan komponen lingkungan, seperti sistem sosial budaya, fasilitas umum, kelompok masyarakat sumber daya alam, dll. Dan pengertian tersebut maka yang dimaksud sikap adalah merupakan interaksi dan integrasi antara komponen kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi berkaitan dengan daya nalar/pikiran, gagasan/ide dan keyakinan. Sedangkan komponen afeksi berkaitan dengan perasaan dan komponen konasi berkenaan dengan kecenderungan seseorang anggota masyarakat untuk bertingkah laku yang sesuai dengan sikap.
Kedewasaan sikap masyarakat dapat mempengaruhi tjngkah laku. Bagi masyarakat yang telah mandiri perlu disertai dengan kedewasaan sikap. Kedewasaan atau kematangan (maturity) sangat diperlukan supaya di dalam bertindak dilandasi oleh unsur kebijakan. Adapun komponen utama dan kedewasaan sikap menurut Suprijatna kemampuan (job matuiity) dan kemauan untuk bertanggung jawab (psycological maturity). Job maturity adalah berkembangnya pengetahuan dan keterampilan seseorang yang tinggi sehingga dalam pekerjaan, relatif tidak perlu lagi petunjuk yang mendetail dan orang lain. Psychological maturity berhubungan dengan kemauan untuk bertanggung jawab dalam berbuat sesuatu.
Apabila kedewasaan sikap tersebut telah terbentuk dan tertanamkan pada masyarakat maka tidak perlu lagi dipaksa atau didorong untuk melakukan sesuatu. Melainkan dalam diri sendiri telah ada keyakinan bahwa penting atau harus melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang optimal. Selanjutnya menurut Supriyatna untuk menuju pada kedewasaan sikap ada perubahan tingkah laku sebagai berikut:
Tabel 2.3.
Perubahan Tingkah Laku Mencerminkan Kematangan Sikap

Kurang/Tidak Matang/Kurang Dewasa
Matang/Dewasa
Pasif
Aktif
Tergantung
Tidak tergantung
Sedikit altematif tindakan
Banyak alternatif
Minat yang dangkal
Minat yang dalam
Berpikirjangkapendek
Berpikir jangka panjang (baik yang dahulu maupun yang akan datang)
Menempatkan diri sebagai bawahan
Menempatkan diri sama atau menjadi atasan
Kurang mempunyai kehati-hatian atas dirinya sendiri
Hati-hati dan mengendaican diri

Sumber: Suprijatna, 2000:93.




Selanjutnya Suprijatna juga mendeskripsikan sebuah kematangan pekerjaan dan kematangan psikologi seperti terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.4.
Kematangan dalam Bidang Pekerjaan

Tinggi
Cukup/Moderat
Runoan
8
7
6
5
4
3
2
1
Pengalaman Keija

Memiliki pengalaman yang erat hubungannya dengan pekerjaan


Tidak memiliki pengalaman yang berarti

Pengetahuan tentang pekerjaan
Memiliki pengetahuan yang perlu



Tidak memiliki

Pengetahuan tentang tuntutan yang diperlukan untuk pekerjaan

Secara mendalam mengerti apa yang harus dikerjakan



Sedikit mengerti yang perlu dikerjakan

Sumber. Suprijatna, 2000:94.

Tabel 2.4. tersebut di atas telah ditunjukkan kondisi pada posisi mana kemampuan seseorang berada dalam penguasaan bkteng pekerjaan. Dalam masyarakat pun juga berlaku apresiasi kondisi demikian ini. Ketika masyarakat rata-rata berada pada kondisi atau skor 7 dan 8 maka dapat dipastikan bahwa masyarakat tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau pembangunan yang diharapkan dapat mencapai hasil yang baik. Sedangkan jika masyarakat tersebut berada pada skor 1 dan 2 maka sangatlah rendah kemampuannya, sehingga terialu sulit untuk diharapkan mencapai hasil yang baik. Pada posisi demikian ini masyarakat harus dipaksa dalam melakukan pembangunan. Pada posisi tengah, masyarakat memiliki kemampuan yang moderat, berarti masih mungkin melakukan pembangunan jika dilakukan motivasi yang baik. Dengan motivasi yang baik tersebut masih dapat diharapkan masyarakatmampu mewujudkan hasil pembangunan yang relatif baik. Demikian tabel tersebut dapat diinterpretasikan bahwa ada tingkatan kemampuan, pengalaman dan pengetahuan masyarakat. Dan ketika masyarakatberada pada posisi tertentu, maka akan memperoleh hasil tertentu. Itu merupakan konsekuensi logis dari tingkatan keberdayaan masyarakat. Dan untuk mencapai suatu kondisi kemampuan yang tinggi memerlukan suatu proses belajar secara bertahap.
Selanjutnya kemampuan yang tinggi tersebut perlu disertai oleh kematangan psikologis yang tinggi pula. Dengan kondisi seperti ini masyarakat yang telah berkemampuan tinggi tersebut dapat mengambil langkah-langkah pembangunan secara bertanggung jawab. Tingkatan kematangan psikologis tersebut tampak pada tabel 2.5. berikut ini.

Tabel 2.5. Kematangan Psikologi

Kemauan untuk memikul tanggung jawab
Tinggi
Cukup/moderat
Rendah
8
7
6
5
4
3
2
1
Sangat ingin

Acuh
Keinginan untuk berhasil/berprestasi
Sangat tinggi



Rendah
Komitmen untuk pekerjaan
Sangat berdedikasi


Acuh

Sumber: Suprijatna, 2000:94.

Tabel tersebut memperlihatkan bagaimana kondisi kematangan psikologis seseorang.dan konsekuensi daripadanya. Apabila seseorang berada pada tingkat kematangan yang tinggi, maka akan memiliki inisiatif yang tinggi, rasa tanggung jawab tinggi dan komitmen tinggi. Sebaliknya jika seseorang belum atau tidak memiliki kedewasaan yang tinggi, maka tanggung jawab rendah, komitmen rendah dan tidak memiliki dorongan inisiatif. Begitu pula halnya dengan kondisi masyarakat.
Berdasar pendapat tersebut di atas semakin jelas bahwa untuk menuju kemandirian masyarakat memang diperlukan proses pematangan emosi. Dengan demikian secara bertahap dapat terbentuk sikap yang matang, dan terbentuk perilaku yang bertanggung jawab. Sebenarya proses pemberdayaan masyarakat diharapkan sampai pada suatu kondisi masyarakat yang bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu dalam rangka meraih kondisi atau hasil yang optimal.

E. SASARAN PEMBERDAYAAN
Perlu dipikirkan siapa yang sesungguhnya menjadi sasaran pemberdayaan. Schumacher memiliki pandangan pemberdayaan sebagai suatu bagian dari masyarakat miskin dengan tidak harus menghilangkan ketimpangan struktural lebih dahulu. Masyarakat miskin sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan demikian memberikan "kail jauh lebih tepat daripada memberikan ikan", Di samping itu, NGO merupakan agen yang mendapat posisi penting, karena dipandang lebih bersifat entrepreneur, berpengalaman dan inovatif dibanding pemerintah. Pemaknaan pemberdayaan selanjutnya seiring dengan konsep good governance. Konsep ini mengetengahkan ada tiga pilar yang harus dipertemukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras.



G. PENDEKATAN PEMBERDAYAAN
Akibat dari pemahaman hakikat pemberdayaan yang berbeda-beda, maka lahirlah dua sudut pendang yang bersifat kontradiktif. Kedua sudut pandang tersebut memberikan implikasi atas pendekatan yang berbeda pula di dalam melakukan langkah pemberdayaan masyarakat. Pendekatan yang pertama memahami pemberdayaan sebagai suatu sudut pandang konfliktual. Munculnya cara pandang tersebut didasarkan pada perspektif konflik antara pihak yang memiliki daya/kekuatan di satu sisi, yang berhadapan dengan pihak yang lemah di sisi lainnya. Pendapat ini diwamai oleh pemahaman bahwa kedua pihak yang berhadapan tersebut sebagai suatu fenomena kompetisi untuk mendapatkan daya, yaitu pihak yang kuat berhadapan dengan kelompoklemah. Penuturan yang lebih simpel dapat disampaikan, bahwa proses pemberian daya kepada kelompok lemah berakibat pada berkurangnya daya pada kelompok lain. Sudut pandang ini lebih popular dengan istilah zero-sum.
Jika diinterpretasikan pendekatan zero-sum tersebut, tampaknya lebih merupakan cerminan pemberdayaan model barat sebagaimana disitir dari pendapat Sumodiningrat di muka. Pendekatan ini lebih sesuai untuk menganalisis pemberdayaan dalam pengertian pengalihan kekuasaan. Dalam konteks pengalihan kekuasaan dari pihak yang sebelumnya memegang kekuasaan, kepada pihak yang tidak memiliki kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan yang dimiliki oleh pihak pertama, karena sebagian telah beralih pada pihak kedua. Tetapi pendekatan zero-sum menjadi kurang relevan jika dipergunakan untuk menganalisis sebuah proses pemberdayaan, dalam konteks pemberian kemampuan dari pihak yang memiliki kemampuan kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan. Tidak berarti kemampuan seseorang atau suatu lembaga akan berkurang, ketika memberikan atau lebih tepatnya mentransfer kemampuan mereka kepada pihak yang belum memiliki kemampuan.
Implikasi dari pendekatan zero-sum adalah orang/lembaga menjadi enggan untuk melakukan pemberdayaan terhadap orang atau lembaga lain. Logika ini dibenarkan mengingat jika proses pemberdayaan "yang dimaksud" pengalihan kekuasaan, maka akan berkuranglah kekuasaan mereka. Jika demikian maka penguasa tidak akan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat.
Pandangan kedua bertentangan dengan pandangan pertama. Jika pada pandangan pertama proses pemberdayaan mengakibatkan berkurangnya daya pada pihak yang berkuasa, maka sudut pandang kedua berpegang pada prinsip sebaliknya. Makanala terjadi proses pemberdayaan dari pihak yang berkuasa/ berdaya kepada pihak yang lemah justeru akan memperkuat daya pihak pertama. Dengan demikian kekhawatiran yang terjadi pada sudut pandang pertama tidak berlaku pada sudut pandang kedua. Pemberi daya akan memperoleh manfaat positif berupa peningkatan daya apabila melakukan proses pemberdayaan terhadap pihak yang lemah. Di samping itu keyakinan yang dimiliki oleh sudut pandang ini adalah adanya penekanan aspek generatif. Sudut pandang demikian ini popular dengan namapos/frVe-sum.
Dalam perjalanan historis pembangunan bangsa Indonesia tampaknya sudut pandang pertama cukup dominan. Jika diamati dari hasil-hasil pembangunan yang sesungguhnya memiliki tujuan pemberdayaan masyarakat miskin/lemah telah memunculkan fakta dikotomis. Fenomena ketergantungan daerah-pusat, ketimpangan dan jurang pemisah antara kaya dan miskin, kesenjangan staiktural, dominasi peran publik dan sosial antara laki-laki perempuan, merupakan pola-pola sub-ordinasi yang memberikan bukti bahwa adanya pandangan bahwa pemberdayaan dalam konteks pembangunan nasional setama ini berkiblat pada zero-sum. Itulah mengapa selama ini juga terjadi tank ulur antara pusat dan daerah, penguasa dan pihak yang dikuasai. Seharusnya sudut pandang positive-sum yang dikembangkan. Sudut pandang ini dapat memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan yang hakiki, dengan adanya iktikad baik untuk mengubah keadaan, yang tidak berdaya menjadi berdaya. Iktikad baik tersebut dilakukan tanpa ada rasa setengah hati, karena ketakutan apabila sebagian kekuasaannya berkurang. Pengalihan daya tidak melalui situasi konfliktual, akan tetapi bermodal suatu dorongan kesadaran akan kewajiban akan pentingnya aspek generatif yang perlu dilangsungkan. Kekuatan dan keberdayaan yang tumbuh dalam masyarakat akan memberikan kontribusi yang baik kepada pemerintah dan negara, bukan sebaliknya akan menumbangkan pemerintah dan negara. Keberdayaan masyarakat akan menjadi penyeimbang bagi pemerintah dan sector swasta yang menjilma dalam bentuk kemitraan yang lebih bermakna.

  1. KESIMPULAN
Paradigma baru yang disampaikan untuk mengooreksi paradigma yang sudah ada adalah paradigma pemberdayaan masyarakat. Melalui paradigma ini, masyarakat diberikan hak untuk mengelola sumber daya dalam rangka melaksanakan pembangunan. Hadirnya paradigma ini berinisiatif untuk mengubah kondisi dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material.
Pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian diepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:
      1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
      2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
      3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.
Untuk menuju kemandirian masyarakat memang diperlukan proses pematangan emosi. Dengan demikian secara bertahap dapat terbentuk sikap yang matang, dan terbentuk perilaku yang bertanggung jawab. Sebenarya proses pemberdayaan masyarakat diharapkan sampai pada suatu kondisi masyarakat yang bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu dalam rangka meraih kondisi atau hasil yang optimal.



0 komentar:

Posting Komentar

Komentarmu adalah Kepedulianmu

 

About

You Are Nothing but it`s yourself. jadikanlah dirimu, menjadi karya yang luarbiasa, dengan segala kemampuan, batasan yang dimiliki, karena kamu adalah kamu. hidupmu, adalah hidupmu. Kesuksesan berada diantara tubuhmu, jadikanlah sesuatu dengan Bijaksana. Kesuksesan berasal dari rasa syukur, dan kebijaksanaanmu dalam menyikapi berbagai hal. Get it.....!