Identifikasi
hal-hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
melakukan reformasi administrasi di bidang Kelembagaan, SDM dan
Ketatalaksanaan.
Cita – cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat dan makmur merupakan tujuan nasional yang harus dicapai
melalui penyelenggaraan pemerintahan negara yang melindungi segenap
bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance), prioritas pembangunan
bidang penyelenggaraan negara diarahkan pada upaya peningkatan
kinerja administrasi public, agar mampu menciptakan kondisi yang
kondusif bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat, meningkatnya
kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan menekan tingkat
penyalahgunaan kewenangan di lingkungan aparatur negara.
Definisi reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Caiden
seringkali digunakan sebagai konsep dasar dalam memaknai reformasi
administrasi. Caiden (1969) mendefinisikan reformasi administrasi
sebagai: the artificial inducement of administrative
transformation against resistance. Berdasarkan definisi ini,
reformasi administrasi mempunyai tiga unsur yang melekat, yaitu (1)
reformasi administrasi merupakan usaha yang dibuat oleh manusia,
tidak bersifat otomatis ataupun alamiah, (2) reformasi administrasi
merupakan suatu proses, (3) adanya resistensi yang beriringan dengan
proses reformasi administrasi. Dalam hal ini, reformasi administrasi
muncul sebagai implikasi tidak berfungsinya perubahan administrasi
yang terjadi secara alamiah.
Sasaran utama tindakan pemerintah dalam melakukan reformasi
administrasi adalah dengan melakukan reformasi di bidang kelembagaan,
SDM dan ketatalaksanaan. Reformasi administrasi
atau pembaharuan administrasi dilakukan karena ketidakmampuan
administratif untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi
yang dilakukan Heady (1995), menemukan lima ciri yang umum
administrasi publik di negara-negara berkembang, yaitu:
- Pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan (imitative) daripada asli (indigenous).
- Birokrasi di negara berkembang kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang justru kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen, keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis yang kurang memadai.
- Birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari sifat seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang.
- Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan sesungguhnya.
- Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat.
Di
Bidang Kelembagaan
Postur oganisasi Sekretariat Negara saat ini relatif lebih ramping
dan flat (tidak terlalu hirarkis), miskin struktur tetapi makin kaya
fungsi, sehingga satuan-satuan organisasi/unit-unit kerja dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya secara makin cepat, fleksibel,
efektif dan efisien, yang pada akhirnya dapat menghasilkan kinerja
organisasi yang tinggi. Tidak ada lagi tugas dan fungsi satuan-satuan
organisasi/unit-unit kerja di lingkungan Sekretariat Negara yang
tumpang tindih (overlappping), sehingga tidak terjadi lagi adanya
duplikasi dalam melaksanakan tugas/pekerjaan. Setiap satuan
organisasi/unit kerja memiliki tugas fungsi yang makin jelas, yang
telah dibagi habis ke dalam tugas dan fungsi jabatan-jabatan yang ada
di dalamnya. Penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri
atas fungsi pengaturan, pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna
meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model
subsidiarity, di mana masyarkat dilibatkan secara aktif dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan
dilaksanakan juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan kemampuan potensi daerah.
Penataan itu dilakukan dengan jalan penguatan organisasi di tingkat
kecamatan, desa/kelurahan yang lebih banyak berinteraksi langsung
dengan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar
kepada camat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap
penataan kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur
semata, melainkan juga sebagai pelembagaan jaringan kerjasama
(networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model
pemerintahan yang birokratis dan kaku disingkirkan. Di samping
mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Partisipasi
masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal
dilakukan, birokrat perlu berdialog dengan masyarakat guna menyusun
indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas dari
faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah
ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi indikator secara mendetail
hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja
itu harus yang tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana
alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan evaluasinya.
Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan
hasil implementasinya kepada publik.
Di
Bidang SDM
Tuntutan demokrasi dan berkembangnya wacana
tentang tata Pemerintahan yang baik (good governance), sumberdaya
aparatur juga harus mengakomodasi tantangan-tantangan baru. Demokrasi
bawah karena bisa menjamin aspirasi mereka tentang kebijakan yang
dirumus-kan aparat negara dan pelayanan publik oleh lembaga
pemerintah akan lebih responsif. Hal ini
memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan
melalui pembudayaan kode etik (code
of ethical conducts) yang didasarkan
pada dukungan lingkungan(enabling strategy) yang diterjamahkan dalam
standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan acuan
perilaku aparatur pemerintah. Di samping itu, dalam pelaksanaan kode
etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus bersikap
terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin
dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih
dan menjadi panutan bagi masyarakat. Pelayanan berarti pula semangat
pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam
membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani,
bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan
mempersulit, sederhana bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap
orang bukan hanya untuk segelintir orang. Dengan demikian makna
administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan
negara yang harus melayani publik harus benar- benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Pemberdayaan aparatur sendiri dapat dilihat
dengan banyakanya sistem penggajian, perekrutan pegawai Selain
itu, posisi Diklat Aparatur dalam Kerangka
Pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Penyelenggaran Pemerintahan
Daerah, juga merupakan salah satu usaha pemerintah dalam melaksanakan
reformasi sumber daya aparatur.
Reformasi Aspek Sumber Daya Kediklatan diantaranya dengan
melakukan :
- evaluasi, standarisasi, dan penyediaan tenaga kediklatan sesuai kebutuhan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
- mengembangkan model pembiayaan diklat sesuai ketentuan yang berlaku.
- evaluasi, standarisasi, dan penyediaan sarana dan prasarana kediklatan sesuai kebutuhan.
- evaluasi, standarisasi, dan penyediaan media dan alat bantu kediklatan sesuai dengan kebutuhan.
- evaluasi, standarisasi, dan modernisasi metode kediklatan sesuai kebutuhan.
- evaluasi, standarisasi, dan penyediaan lingkungan kediklatan sesuai kebutuhan.
- evaluasi, standarisasi, dan penyediaan target group diklat sesuai kompetensi.
Selain itu pentingnya profesionalisme aparatur
dalam melayani masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
Mentri Pendayahgunaan Aparatur Negara suatu kebujaksanaan Nomer 81
Tahun 1993 tentang pedoman tatalaksana pelayanan umum.
Di
Bidang Ketatalaksanaan
Reformasi dalam bidang ketatalaksanaan ini
biasanya juga disebut sebagai Reformasi sistem dan prosedur, yang
diperlukan untuk menstandarkan sistem dan prosedur dilihat dari
efektivitas, efisiensi,dan ekonomis (value for money). Satuan-satuan
organisasi/unit-unit kerja di lingkungan Sekretariat Negara saat ini
telah memiliki dan menerapkan sistem, prosedur, dan mekanisme kerja,
serta standar pelayanan yang makin baku, jelas, efisien, dan efektif,
dengan didukung makin optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi yang memadai. Sehingga pelaksanaan tugas pekerjaan dapat
diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat, terukur, dan transparan,
serta makin mengurangi peluang untuk terjadinya praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Moestopadijaja
(1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus
didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan,
partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi. Fungsi pemberdayaan,
aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi
mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa
dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila
masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya,
maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula
memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan. Dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan
antara lain melalui.
- Pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat.
- Perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat.
- Pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997)
Dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, Pemerintah melaksanakan pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi Koordinasi pemerintahan
antar susunan pemerintahan, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan
urusan pemerintahan; Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultansi
pelaksanaan urusan pemerintahan, pendidikan dan pelatihan, dan
Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan urusan pemerintahan.
Reformasi Aspek Sistem dan Prosedur diantaranya
dengan melakukan :
- evaluasi dan penyempurnaan sistem dan prosedur penyelenggaraan diklat dengan model diklat satu pintu.
- evaluasi dan penyempurnaan sistem dan prosedur penyelenggaraan diklat berbasis kompetensi yang terstandar.
- mengembangkan metode diklat berbasis information technology (IT).
- merumuskan sistem dan prosedur hubungan antar lembaga diklat dimensi vertical, horizontal, dan diagonal.
Arah
Perkembangan Reformasi Di Indonesia
Gerakan reformasi di Indonesia, yang dimotori oleh
para mahasiswa, pada lima tahun pertama (1998-2003) ditandai oleh
adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih
demokratis di satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang
lain. Tuntutan terhadap demokrasi, muncul sebagai akibat lahirnya
kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga negara yang selama
bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang
berkuasa. Pada tahap kedua (2003 –
sekarang), euforia
reformasi di jalan raya tampak mulai mereda. Keberhasilan Indonesia
menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung, diakui banyak
pihak termasuk donor internasional, sebagai sebuah keberhasilan
politik anak-anak negeri ini dan menjadi indikasi bahwa reformasi
berada di jalur yang dikehendaki. Dengan
kata lain, demokratisasi adalah proses bertingkat-tingkat di mana
terdapat kemungkinan bagi setiap bangsa untuk gagal di setiap titik
sepanjang garis kontinum dari otoritarianisme sampai ke tahap
terkristalnya demokrasi yang baru (Casper dan Taylor, 1996).
Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya
diuji melalui pemilihan presiden secara langsung, namun terutama
ditantang untuk mampu keluar dari berbagai masalah agar dapat
memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain. Seperti Di
negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di tempat lain, ketika
rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan
komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan
melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai akibatnya, tidak ada
saluran institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan
keputusan. Dari apa yang telah dikemukakan
di atas, administrasi publik dapat menempati tempat di jantung
gerakan demokratisasi politik, asal memenuhi paling tidak tiga
persyaratan. Pertama,
mampu melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh seperti yang
dilakukan di Taiwan seperti yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua,
mempunyai struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan
parokial seperti yang dikemukakan O’Toole. Ketiga,
membebaskan diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam
melakukan pelayanan publik. Mengenai perencanaan strategis, Indonesia
mempunyai pengalaman dan institusi perencanaan seperti Bappenas di
tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diperlukan adalah
revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional yang
disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki. Mekanisme
perencanaan bottom-up dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi
atau mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan
kultur birokrasi, masih membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk
melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika tidak
dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi.
Tampaknya reformasi administrasi di Indonesia,
menuju efektivitas birokrasi dari biro-biro pemerintah tidaklah
mengalami perubahan; tiada berkesudahan dan lebih bersifat politis
daripada kisah reinventing government
seperti yang umumnya dipercaya orang. Kritik terhadap pendekatan
kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan oleh Cope (1997)
yang menyorotinya dari sudut responsivitas politik. Ia berpendapat,
bahwa banyak konsep dan teknik yang berhubungan dengan reformasi
birokrasi sekarang ini (reinventing
government) sarat dengan berbagai
implikasi negatif terhadap responsivitas politik. Ada empat
kesimpulan yang dihasilkan penelitiannya. Pertama,
review terhadap unjuk kerja pegawai memang mampu memperkuat birokrasi
dan para pejabat terpilih, namun ternyata cenderung memperlemah
responsivitas politik para administrator publik tersebut. Kedua,
dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan terhadap sistem keuangan
publik, memang ada peluang untuk meningkatkan jumlah pendapatan,
namun hal tersebut cenderung mengurangi tingkat responsivitas
politik. Ketiga,
penekanan terhadap pelayanan pelanggan tidak serta merta meningkatkan
responsivitas politik, karena dalam prakteknya hal itu ternyata
berarti hanya memperhatikan kepentingan individu-individu tertentu;
padahal pelayanan kepada masyarakat seharusnya ditujukan untuk
meningkatkan responsivitas kepada publik
tanpa diskriminasi Keempat,
kemitraan sektor publik dengan swasta yang ditawarkan oleh model
reinventing government,
dalam prakteknya ternyata menimbulkan masalah etik. Khusus mengenai
masalah etik, Ghere (1997) menyimpulkan bahwa dalam gema ‘reinventing
government’, ada indikasi bahwa etika
administrasi publik terlupakan. Ia melakukan studi kasus tentang
kemitraan antara ‘county government’
(setingkat kecamatan) dengan ‘local
chamber of commerce’ (Kadin-daerah)
dari dua perspektif, standar moral pribadi para pelaku dan etika
kebijakan institusional. Studi kasus ini memperlihatkan adanya
penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan dua lembaga tersebut.
Dari gambaran di atas Perkembangan reformasi administrasi sendiri
masih sangat kurang dilakukan menyeluruh mengingat masih banyaknya
perilaku dan sistem yang digunakan yang kurang tepat dalam
penangangan pelayanan masyarakat. Dapat dilihat dari banyaknya
tindakan KKN di dalam Eksekutif, legislatif maupun yudikatif hal ini
mengingant reformasi administrasi harus dilakukan terus menerus dan
berkelanjutan tetapi untuk menuju cita – cita bangsa indonesia yang
termaktub dalam UUD 1945 setidaknya pemerintah telah melakukan
beberapa hal untuk mereformasi administrasi antara lain :
- Adanya pembagian kewenangan yang lebih tegas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam rangka menciptakan mekanisme check and balances yang lebih baik.
- Memberikan peluang kepada calon independen untuk mengikuti proses pemilihan presiden dan wakil presiden dalam menciptakan netralitas birokrasi.
- Memperbaiki regulasi rekruitmen calon anggota DPR dari partai politik agar sumber daya manusia menjadi lebih baik
- Mempercepat penyusunan regulasi pelaksanaan UU No32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sehingga pelaksanaan otonomi daerah tidak dilaksanakan secara multi tafsir.
- Mempercepat pemberantasan korupsi.
- Menyusun UU tentang etika penyelegaraan negara yang mengatur prilaku setiap penyelenggara negara.
Faktor
Pendorong dan Penghambat Reformasi Administrasi
Faktor
Pendorong
Reformasi
administrasi tidak luput dari para generasi – genarsi yang
menyemangati reformasi administrasi di dalam pemerintahan, dan
reformasi administrasi mengingat bahwa masih banyaknya sistem dan
perilaku para aparatur yang tidak sesuai dengan aturan – aturan
administrasi tersebut seperti tindakan KKN dan sebagainya kesalahan
dalam penerapan kebijakan dalam masyarakat. Dan hal ini terkait
dengan perkembangan jaman yang semakin maju dan tuntutan globlalisasi
yang menuntut perkembangan administrasi sehingga administrasi dari
waktu ke waktu harus berubah dengan tuntutan masyarakat yang semakin
kompleks. Oleh sebab itu perkembangan administrasi menyesuaikan
perubahan jaman dan kebutuhan masyarakat yang kompleks dan
terpengaruh oleh aktor – aktor luar negri (Sound Governanace),
sehingga memerlukan reformasi eksternal maupun internal.
Faktor
Penghambat
Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama,
masalah kelembagaan dan manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum
ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta
kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab
instansi pemerintah. Inefisiensi, kelambatan, ketidakmerataan
pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta
ketidakpastian biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi
fenomena umum.
Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, managerial, teknis
dan administratif. Masalah-masalah ini berdampak pada perilaku aparat
yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi,
e-governement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang
kompetitif. Pemerintahpun cenderung sulit untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna
merangsang peran swasta dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat
dipenuhi sendiri oleh pemerintah.
Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki
keterbatasan sumber pendapatan dalam membiayai pelayanan dan
pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari
solusi alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan
kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan pelayanan. Untuk itu
dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang
masih merupakan kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.
Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan,
terutama di kota/daerah yang sulit dibatasi secara administrasi
pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan
koordinasi pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah
dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang ada sehingga
manfaatnya bisa dirasakan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah Kepedulianmu